wartaspot.com |
Masamba di shubuh seperti ini adalah keheningan yang memagut. Kecuali lantunan ayat suci yang terdengar sayup-sayup nun jauh di sana. Tak lama adzan pun memecah kesunyian pagi. Mengajak hamba-hamba yang sholeh bertemu Tuhannya. Tak terkecuali dengan yang dilakukan Egi. Kegundahan hatinya saat ini mendorongnya pagi itu ke rumah Tuhan. Dalam rukuk dan sujudnya yang lama dan dalam ia menumpahkan kegalauannya kepada Penciptanya. Setelah itu, ia berdoa dengan khusyu dalam tangkupan tangan mungilnya. Tak terasa air matanya meleleh mengaliri pipinya.
Ia sadar pilihannya salah. Tapi ia tak kuasa untuk menghindarinya. Mencintai pria yang sudah dimiliki perempuan lain. Karena hanya
pria itu yang mampu mengerti dirinya. Ia sadar dia tidak lagi suci. Masa lalu
yang kelabu dan kini hanya meninggalkan banyak kegetiran. Umurnya kian terus
bertambah. Ia pun ingin memiliki seorang pria dan merajut pernikahan. Tapi pria mana
yang mampu memahami apa yang dialaminya di masa lalu. Memahami masa lalunya
yang sudah lama ditinggalkannya. Hanya pria itu yang mau memahaminya.
Pria itu sangat tulus mendengarkan curahan hatinya. Tidak
tampak kaget ketika ia menceritakan kepiluan masa lalunya. Bahkan pria itu
memberikan empati yang besar dan memberikan semangat padanya. Lupakan saja masa
lalumu. Hari ini dan masa depanmu, itu saja yang penting kamu pikirkan.
Demikian kata-kata lembut itu masih ia ingat di benaknya hingga kini.
Kedekatannya dengan pria itu menumbuhkan rasa cinta dalam hatinya. Rasa itu
bahkan tanpa disadarinya mengabaikan rasa cinta perempuan lain yang telah lebih
dulu mencintai pria itu. Perempuan itu adalah istrinya. Apakah ia akan
menyakiti sesamanya? Apakah itu bukan suatu kejahatan? Oh, Tuhan….dalam doanya
pagi itu dia berdialog dengan Tuhan dan nuraninya sendiri.
Aku mencintaimu. Maukah engkau menerimanya? Ia kaget
mendengar permintaan pria itu. Bumi bagaikan hanya miliknya. Langit terasa
berwarna-warni. Ucapan itu sudah lama ia tunggu. Ternyata pria itu juga
mencintainya. Tidak hanya rasa empati yang selalu ditunjukkannya selama ini
kepadanya. Hari itu ia bahagia sekali.
Tapi, ia belum mampu
menjawabnya saat itu.
Bagaimana dengan dia? Apakah kamu akan meninggalkannya? Pria
itu mengangguk. Apakah kalian sedang dalam masalah? Pria itu menggeleng. Lalu
kenapa kamu memilih aku dan meninggalkannya?
Karena aku mencintaimu, jawab pria itu singkat. Bukankah kamu akan
menyakitinya? Pria itu hanya tertunduk diam. Kemudian kami pun terdiam satu
sama lain. Saat itu, ia hanya memikirkan istri pria itu. Bagaimana dengan
perempuannya jika ia menerima permintaan pria itu? Pasti hatinya akan hancur
berkeping-keping. Apakah aku akan bahagia di atas penderitaan sesamanya? Ia
merasa bahwa dirinya sangat jahat sekali jika melakukan hal itu. Tetapi di sisi
lain ia menaruh hati dan cinta pada pria itu. Ia bagaikan
terperangkap dalam ruangan dilema yang tidak berpintu dan berjendela.
Bagaimana, Egi? Pria itu terus menanti jawab darinya. Sudah sebulan ini, dibiarkannya mengambang tanpa kepastian. Namun pria itu tiada jemu menunggu.
Apakah aku akan menerima cintanya? Oh Tuhan, tunjuki hambamu yang sedang bingung ini. Pagi mulai terang. Cahaya mentari sudah mulai
menyembul di ufuk timur. Kicauan burung terdengar ribut di luar mesjid. Seiring dengan nikmat pagi yang dihidangkan
oleh Pencipta Alam Semesta, petunjuk itu dikirimkan padanya. Tiba-tiba ada
kehangatan dalam hatinya. Mencerahkan pikirannya. Menghilangkan kegundahan
dalam kalbunya. Ia telah menemukan jawabnya. Ia tidak bisa menerima cinta pria
itu yang akan merusak cinta lainnya. Ia sadar cinta Tuhannya lebih besar kepada
dirinya dibandingkan cinta sesama makhluk. Ia yakin cinta kepadaNya akan mampu
memberikan jalan yang lebih baik bagi masa depannya. Ia yakin Dia akan
memberikan jodoh itu suatu saat nanti. Bukankah Dia pemilik segalanya? Jika ia
pun ditakdirkan tidak berjodoh di dunia ini, ia masih punya Dia. Ia yakin, pada akhirnya Dia akan mempertemukan dirinya dengan pria jodohnya di surga.
Masamba, 14
Desember 2012