Pertemuan Tak Diduga

shadowness.com



Hampir tak kupercaya akhirnya aku menemukannya. Bukan di media sosial, tetapi di sebuah kota di negeri yang indah di belahan bumi selatan. Queenstown, Selandia Baru. Sebuah kota wisata di Otago, di bagian barat daya Pulau Selatan. Kota ini sangat eksotis karena letaknya di kaki pegunungan Mount Ernslaw di tepian danau Wakatipu.

-----


Danau Wakatipu sore itu sangat indah. Permukaan airnya tampak tenang. T.S.S. Earnslaw dengan cerobong merahnya melintas dengan anggun tak jauh dari tempatku duduk menikmati pemandangan di sana. Kapal uap klasik itu merupakan ikon negara yang kukunjungi kali ini, Selandia Baru.
Beberapa pemandangan indah tak luput dari jepretanku. Salah satunya, Mount Ernslaw yang tegak berdiri dengan hiasan salju abadi yang memukau di puncaknya. Hingga tak sengaja mata lensa kameraku tertuju pada seorang perempuan rupawan yang sepertinya aku kenal. Berdiri di tepian danau tak jauh dari tempatku duduk, dia terlihat sedang khusyuk menikmati keindahan di sana.
Sedikit ragu, tetapi aku tetap nekat untuk mendekatinya, mencoba berdiri di sampingnya.

“Aku tak yakin orang sepertimu tertarik dengan legenda Matau. Dan, aku tak yakin kamu akan sabar menunggu monster itu bangun dari tidurnya?”

Dia terlihat tersenyum. Sebentar menoleh ke arahku, kemudian dia melanjutkan keasyikannya memandangi permukaan air danau yang berombak akibat saputan lambung Earnslaw.

“Orang-orang Maori percaya bahwa seekor monster raksasa bernama Matau sedang tidur di dasar danau Wakatipu dan denyut jantungnya mengakibatkan danau ini mengalami fenomena seiche,” ulasnya seperti pendongeng ulung. Seiche adalah gelombang tegak" yang sangat besar yang mengakibatkan air permukaan danau naik dan turun sekitar 10 sentimeter setiap 25 menit sekali.

“Tiga tahun menghilang tak jelas rimba, akhirnya aku menemukanmu di sini. Zizah?” sapaku pada perempuan itu.

Dia menoleh padaku. Matanya tampak berbinar. Aku memandangi wajah eksotisnya yang tak pernah berubah.
Tak seperti orang-orang Cina pada umumnya, Orang-orang Uighur seperti Zizah terlihat seperti bule, warna kulitnya putih agak kemerahan, matanya tak sipit, dan berwarna coklat sedikit kehijauan. Konon, nenek moyangnya masih memiliki keturunan klan Turki.

“Apa kabar, Li?” sapanya padaku.

“Hay,” sapaku balik. Aku merasa canggung di dekatnya meski untuk sekedar menyapa. Situasi kami saat ini tak seperti tiga tahun yang lalu. Dulu, kami adalah sepasang kekasih.

Akhirnya, kami pun berjalan bersama menyusuri tepian danau Wakatipu.

“Kamu belum menjawab pertanyaanku, Li?”

Aku sedikit terkejut dari lamunanku.

“Ya. Ehm, kabarku….I’m okay, Zizah. Seperti yang kamu lihat saat ini.”

Zizah tertawa.

“Bukan itu maksudku,” dia melirik ke arahku. Sementara aku hanya mampu menatap bebatuan kerikil di sepanjang jalan yang kami lalui.

Kenangan tiga tahun lalu dengannya seperti muncul kembali di hadapanku. Kenangan yang sangat perih. Tanpa sebab, dia memutuskan hubungan kami.

“Maksudku, apa yang sedang kamu kerjakan di Queenstown?” tanyanya lagi.

Sekumpulan burung tampak beterbangan di atas kepala kami berdua. Suaranya terdengar riuh rendah.

Aku menarik nafas. Kami berdua berhenti berjalan. Aku mencoba memberanikan diri menatapnya. Mata itu indah sekali. Rambut kepalanya yang pirang terlihat sedikit, tertutup kerudung coklat yang membalut indah kepalanya.

“Lantas, kamu sendiri. Apa yang kamu kerjakan di sini?” aku balik bertanya.

Zizah kembali tertawa. Giginya yang putih terlihat rapi. Kami pun berjalan kembali. Sekelompok angsa putih terlihat berenang di tepian danau.

“Li, kamu belum menjawab pertanyaanku,” dia tak mau mengalah.

“Ada sedikit pekerjaan sampai akhir minggu ini,” jawabku, aku tak mampu bertahan.

“Oh, ya? Aku boleh tahu?”

Aku tak segera menjawab. Lamunan masa lalu kami berdua kembali muncul satu per satu dalam ingatanku. Aku mengingat salah satu kenangan indah ketika kami menikmati lamian* di kedai pinggir jalan, menunggu hujan badai mereda di kota Kasghar, di provinsi Xinjiang. Di kota itu Zizah dan orang tuanya tinggal.

Apakah dia juga masih mengingat masa-masa indah itu atau malah sudah melupakannya?

“Kamu sendiri?” aku balik bertanya.

“Li, kamu belum menjawab pertanyaanku,” protesnya sambil mencubit lenganku.

Aku tersenyum. Sikapnya barusan dan cara dia memanggil namaku masih terdengar sama, baik warna suara maupun intonasinya, dengan masa-masa itu.
Aku masih terdiam, belum mau menjawab pertanyaannya. Dalam hatiku justru sedang bergemuruh satu pertanyaan yang belum kudapatkan jawaban darinya. Mengapa tiba-tiba dia meninggalkanku!

Have you been married?”

Langkahku seketika terhenti. Tak kusangka dia menanyakan itu.
Kupandangi wajahnya. Mata kami saling bertatapan, seperti saling mencari kejujuran masing-masing di sana.

“Tidak, Zizah. Belum, sampai detik ini,” jawabku singkat.

Kuputuskan untuk mencari tempat duduk tak jauh dari sebuah pohon Pohutukawa dengan bunga-bunga merahnya yang bermekaran di sana. Dia mengikutiku. Kami duduk bersebelahan.

“Mengapa?” tanya Zizah. “Kamu masih marah padaku, Li?” Zizah menyentuh pipiku dan mengarahkan wajahku ke wajahnya.

Aku hanya terdiam. Kulepaskan tangannya dari wajahku. Aku hanya mampu menatap rerumputan hijau di bawah kakiku. Bagaimana aku akan marah Zizah? Hatiku semakin bergemuruh. Kucoba memberanikan diri untuk menyampaikan rasa penasaranku selama ini kepadanya.

“Mengapa kamu tega memutuskan hubungan kita, Zizah? Apa alasanmu? Apa salahku? Tunjukkan padaku, apa salahku!” Aku terlihat sedikit emosi.

Namun, dia tampak tak terpengaruh. Dia mencoba menenangkanku.

“Aku sudah meminta maaf padamu setelah kejadian itu, bukan? Kupikir, kamu sudah memafkanku. Bukan begitu?” jawabnya lirih. Zizah berharap pengertian dariku.

“Aku belum mengerti maksudmu, Zizah. Tolong, jelaskan padaku.

“Tidak, Li. Aku tak bisa jelaskan sekarang. Aku harus pergi.”

Zizah pun berdiri dan berjalan menghampiri sebuah mobil yang baru saja datang tak jauh dari tempat mereka duduk. Seorang anak perempuan berumur sekitar 2 tahun terlihat keluar dari mobil itu. Anak itu berlari memburunya dan kemudian memeluknya.
Kulihat Zizah menoleh ke arahku. Lambaian pendek tangan kanannya ditujukannya padaku. Setelah itu, mereka pergi.
Aku hanya terdiam terpaku menyaksikan kejadian di depanku. Peristiwa yang baru saja kusaksikan seperti menjawab seluruh kegalauanku selama ini. Jawaban atas pertanyaan mengapa Zizah meninggalkanku.
Mentari hampir tenggelam. Langit perlahan menjadi gelap warnanya. Senja pun menjelang. Lampu-lampu hotel dan pertokoan di sepanjang danau Wakatipu mulai menyala satu per satu.
Aku berdiri dengan langkah gontai. Kulangkahkan kakiku dengan berat. Bella Vista Queenstown Motel, dimana aku menginap, masih harus kutempuh selama 10 menit berjalan kaki. Namun, aku tak mengarahkan langkah kakiku ke sana. Aku lebih tertarik pada sebuah bar kecil di salah satu pojok Queenstown Mall.

***

Ponselku berbunyi nyaring, membuatku terbangun. Kepalaku terasa berat, pusing, dan sedikit memar di pelipis. Mulutku masih menyisakan sedikit aroma alkohol. Kuraih telepon dan kumatikan.
Kupicingkan mata ke layar teleponku. Rupanya sudah 9 kali panggilan tak terjawab dari nomor yang sama. Sebuah nomor yang tak kumiliki kontaknya di ponselku.
Kulirik jam weker di meja kamar. Waktu sudah menunjuk ke pukul 09.37 waktu setempat. Sinar mentari pagi cukup menyengat menembus kaca jendela kamarku, jatuh tepat mengenai wajahku.
Terus terang aku belum merasa sadar benar. Aku berusaha mengingat-ingat apa yang telah terjadi semalam. Kupandangi seisi kamar dan seluruh interiornya. Aku yakin, aku tidak berada di penginapan yang secara resmi kusewa sebelumnya, Bella Vista Queenstown Motel.
Sedikit lemah, aku mencoba bangun dan duduk di tepian ranjang. Leher dan seluruh badanku terasa pegal-pegal semua. Sepasang sepatuku berserakan tak jauh dari ranjang. Celana panjangku sedikit terbuka di bagian pinggangnya. Ah, apa yang sudah terjadi padaku? Aku mencoba mengingat-ingat sesuatu.   
Kembali telepon genggamku berbunyi. Masih nomor yang sama. Karna penasaran, kuraih telepon dan kuangkat.

“Hallo?” jawabku lirih dengan aksen inggris.

“Syukurlah kamu sudah siuman Li. Kupikir kamu masih belum sadar. Tahu nggak, ini sudah panggilan yang ke sepuluh sejak jam 07.00 tadi,” seru si penelepon di ujung sana.

“Zizah, kamu kah ini?” aku bertanya padanya.

“Ya, ini aku. Asal kau tahu saja, aku mencemaskanmu semalaman,” ujarnya.

“Sungguh, aku belum ingat betul apa yang terjadi padaku.”

“Kamu sungguh keterlaluan. Sejak kapan kamu minum, hah?!” nada suara Zizah terdengar marah.

Aku hanya terdiam mendengar amarahnya di telepon. Benar, aku baru ingat, aku mabuk berat setelah mencoba minum satu-dua sloki wiski di bar kecil tadi malam. Aku memang tidak pernah meminum alkohol.
Entahlah, mungkin karena patah hati setelah tahu Zizah menikahi orang lain, lantas aku nekad melakukan hal tak berguna tadi malam.
“Bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Zizah. Suaranya masih terdengar cemas.

I’m fine, Zizah. Rupanya kamu yang membawaku kemari. Dimana aku ini?” aku mencoba mencari tahu nama penginapan yang aku tempati sekarang.

 “Garden Court Apartment. Lokasinya nggak jauh dari tempat kamu mabuk tadi malam.”

“Terima kasih, Zizah. Hmm, bagaimana kamu bisa tahu dan melakukan semua ini?”

“Kebetulan aku ada di sekitar sana setelah kita kebetulan bertemu kemarin. Aku melihatmu sempoyongan dipapah seorang pelayan bar. Lalu, aku membawamu ke penginapan.”

“Baiklah, semua menjadi jelas sekarang” ujarku. “Zizah, aku masih ingin bertemu denganmu. Please!” pintaku dengan memelas.

“Aku sudah di depan pintu kamarmu,” jawab Zizah.

Aku kaget bukan main. Ini seperti sinetron yang serba kebetulan. Aku mencoba berdiri, agak sempoyongan berjalan mencapai pintu kamar.
Pintu pun kubuka. Aku terbatuk-batuk. Sosok cantik dengan stelan rapi sudah berdiri di depanku.

“Astaghfirullah, Li. Bau sekali mulutmu,” tangan Zizah mengibas-ibas udara di depan mukanya.

“Mungkin, sebaiknya kamu bersihkan diri kamu dulu. Aku sudah belikan stelan baju yang cocok buatmu. Kutunggu kamu di lobby. Tolong, jangan membuatku lama-lama menunggu, ya” pintanya padaku sambil menyerahkan tas plastik.

Aku hanya mengangguk pelan sembari membiarkannya berbalik arah menuju tangga lobby. Kututup pintu dan balik ke dalam kamar. Aku pun bergegas mandi.

***

    Aku sudah berada di lobbyLobby apartemen ini lumayan luas. Interiornya cukup bagus. Beberapa tanaman anggrek ditaruh di posisi yang sesuai sehingga memberikan kesan romantis.
Mataku mencari-cari sosok Zizah. Agak susah kulakukan karena penglihatanku belum pulih benar. Akhirnya, samar-samar aku menangkap sosok perempuan cantik itu di pojok lobby. Zizah terlihat sedang duduk di salah satu sofa di sana. Pandangannya sedang terarah pada pemandangan taman yang menghijau di depannya.

“Hay,” sapaku. Dia menoleh padaku.

“Syukurlah, aku tak salah memilih ukuran bajumu. Kamu tak banyak berubah,” Zizah menyambutku dengan senyumannya yang mempesona.

“Lumayan. Thanks Zizah,” sahutku malu-malu sambil mengambil tempat duduk di depannya. Wajah Zizah terlihat bersinar pagi itu.

Dia berdiri.

“Ayo sarapan. Sepertinya, tubuhmu memerlukannya,” ajaknya padaku. Diraihnya lenganku. Aku mengikutinya seperti kerbau dicokok hidungnya.

Kami pun berjalan menuju pelataran parkir yang tak jauh tempatnya dari lobby apartemen. Honda CRV warna merah marun menjadi kendaraan yang kunaiki bersamanya pagi itu. Mobil pun melesat ke arah kota. Zizah yang menyetir.

***

Zizah menghentikan mobilnya di area parkir di dekat Queenstown Mall. Dia mengajakku berjalan kaki menuju Toro Kitchen and Bar. Suasana di sana sudah cukup ramai. Beberapa orang terlihat sedang menikmati makanan khas resto itu.
Kami memilih meja di luar resto. Tak lama pelayan mendatangi kami dengan sangat ramah. Aku memesan kopi dan semangkuk sup ayam jamur hangat untuk sarapanku. Zizah hanya memesan jus jeruk dan pancake.
Zizah terlihat serius memandangiku. Kedua tangannya dalam posisi sedekap. Wajahnya tiba-tiba berubah, berbeda sekali dengan sepuluh menit yang lalu.

“Kau kenapa, Zizah?” tanyaku seperti orang bodoh.

“Aku tak mengerti denganmu, Li. Kamu seperti bukan yang kukenal,” jawabnya sedikit marah. Oh, rupanya dia akan mengadiliku sekarang. Pasti soal mabuk semalam.

Aku mencoba tak memberi reaksi. Mungkin, percuma saja aku jawab. Tak lama seorang pelayan datang dan meletakkan semua pesanan kami dan tagihan di meja. Zizah menyerahkan dua lembar 15 NZD ke pelayan itu. Dia mengisyaratkan memberikan uang kembaliannya sebagai tips kepada pelayan itu sebelum dia pergi.
Aku langsung menyeruput kopiku. Lezat sekali. Aku belum pernah merasakan kopi seenak ini. Lalu, aku pun menyantap sup ayam jamur hangat yang terlihat masih mengepul asapnya. Kutahu Zizah mengamatiku. Tampaknya dia belum menyentuh pesanannya. Aku cuek.

“Li, ada apa denganmu?” nada suara kesalnya sudah merendah.

“Mengapa kamu peduli padaku?” tanyaku sembari menyuapkan jamur kuping ke mulutku. “Bukan karena kebetulan kamu ada di sana?”

Kulirik dia. Dia sudah menikmati pancakenya.

“Mengapa kamu berkata begitu? Ok, kita bicara hal lainnya saja,” Zizah meminum jusnya.

Akhirnya, habis juga sup ayamku. Jelas aku kelaparan. Kuangkat kedua tanganku ke atas sambil berteriak menggeliat, melepaskan pegal-pegal di seluruh badanku. Aku tak peduli dengan orang-orang di sekitarku. Zizah mendelik ke arahku. Sepertinya dia malu atas kelakuanku.

“Li, apaan sih kamu ini?” protesnya. Wajahnya tampak kesal. Aku cuek. Aku senang wajah cantik di hadapanku kali ini terlihat cemberut.

“Zizah, aku mau tanya sama kamu,” aku mulai serius.

“Aku tak mau membahasnya, Li,” tolaknya.

Aku cuma nyengir. Jawaban itu tentu saja tidak memuaskanku.

“Baiklah, kalau begitu…aku pergi,” jawabku sambil berdiri hendak meninggalkannya.

Zizah tak terpengaruh. Dia masih tetap duduk di kursinya. Aku mencoba tetap pergi, berharap dia berubah pikiran, mengikutiku.

“Li!” teriaknya. Yes, percobaanku berhasil. Kudengar langkah kakinya berlari mendekat.

“Kamu tak berubah. Kamu seperti anak-anak. Masih suka merajuk,” oloknya.

Aku tersenyum mendengar olokannya. Zizah sudah berada di sampingku.

“Kamu mau pergi kemana, Li?” tanyanya. Sepertinya dia benar-benar cemas dengan sikapku kali ini.

“Bukan urusanmu, Zizah. Aku punya hidup sendiri. Demikian juga denganmu,” jawabku ketus.  

“Ok, Li. Jika kamu ingin penjelasan dariku. Ikutlah aku,” ujarnya sambil menghentikan langkahnya. Sementara aku tetap saja melangkah, meninggalkannya sendirian.

Dia tetap bergeming. Diam, berdiri, terpaku di belakangku.
Akhirnya, seperti biasanya aku mengalah. Aku berbalik, menghampirinya.

“Oke. Apa maumu, Zizah?”

Dia memberi tanda padaku untuk mengikutinya. Tentu saja kembali ke tempat dimana mobilnya diparkir. Zizah bersikeras menyetir, meski kubujuk agar aku saja yang melakukannya. Mungkin dia masih yakin pikiranku belum benar-benar sadar.
Mobil melesat meninggalkan kawasan Queenstown Mall. Aku belum tahu dia akan membawaku kemana. Sudah empat perempatan kami lalui. Tampaknya dia membawaku menuju ke kawasan Cina Town. Banyak kedai makanan khas Cina berjejer di kawasan itu. Lalu dia berhenti tepat di salah satu kedai.
Dengan cekatan dia turun dari mobil. Berjalan cepat menyusuri pedestrian dan memasuki sebuah kedai bernama Han and Zizah. Sementara aku mengekor di belakangnya seraya merasa bingung mengapa dia membawaku ke sana.
Zizah sudah mengambil kursi di sudut kedai. Kedai makanan itu sangat bersih dan rapi, meski tidak terlalu besar. Suasana di sana belum terlalu ramai, mungkin karna belum waktunya makan siang.
Instrumentalia dari Kenny G, Silhouette, mengalun lirih di ruangan kedai.

“Kamu nggak becanda, kan?” tanyaku sambil duduk mengambil posisi di hadapannya. “Aku sudah cukup kenyang, Zizah. Dan, kamu paksa lagi aku untuk menyantap mie kedai ini?”

Zizah hanya tertawa.  Tiba-tiba, dia menjentikkan jemari tangan kanannya ke arah seseorang yang sedari tadi kulihat duduk di belakang meja kasir. Orang itu kemudian masuk ke dalam. Setelah beberapa lama muncullah seorang pria menghampiri meja kami berdua.
Perawakan pria itu tinggi, matanya sipit, berjenggot tipis, dan tentu saja kulitnya agak putih kekuningan. Dia melangkah pelan menuju ke meja kami, dan berdiri di samping Zizah.

“Hmm, sebentar…maaf Zizah, aku tak memesan apa-apa. Aku sudah bilang tadi. Aku sudah kenyang. Please,” kuangkat kedua tanganku seperti menyerah.
Zizah dan pria itu hanya tersenyum.

“Li, kenalkan. Dia suamiku. Han, kenalkan…dia Li,” Zizah mengenalkan pria itu kepadaku. Pria itu menjulurkan tangannya kepadaku. Aku ragu-ragu membalasnya.

“Oh, ya…hmm, aku Li,” jawabku lirih.

Lalu, Zizah bergeser ke kiri dan menyilakan suaminya duduk.
Aku cukup terkejut dengan kejadian ini. Rasanya aku belum siap dengan perkenalan ini.

“Saya sudah melihatmu kemarin sore, dan kejadian malam itu. Eee…Zizah sering menceritakan tentang kamu,”jawab Han sambil melirik ke arah Zizah.

Terus terang aku merasa kikuk dengan situasi saat ini. Apalagi setelah mendengar pengakuan Han bahwa Zizah sering menceritakan soal dirinya kepada suaminya itu.

“Kejadian malam itu? Oh ya, kalian ada di sana?”

Zizah dan Han hanya mengangguk.

“Oh, jadi seperti itu,” aku baru menyadari situasinya.

“Hmm, lantas...eee, apa lagi yang dia sudah ceritakan padamu tentang aku,” tanyaku pada Han sambil menunjuk Zizah. Aku tergagap seperti kehilangan fokus.

“O, bukan seperti yang kamu bayangkan. Tidak, dia tidak menceritakan soal hubungan kalian di masa lalu. Dia hanya menceritakan bagaimana kalian bertemu kali pertama. Itu saja,” jawab Han tenang.

“Oke, silakan kalian berdua ngobrol. Aku masih banyak kerjaan di belakang. Sebentar lagi pelanggan datang untuk makan siang.”

Han lantas pamit meninggalkan kami berdua.

Alunan instrumentalia sudah berganti dengan Sentimental-nya Kenny G. Oh, sialan. Pas sekali dengan suasana hatiku barusan. Kulihat wajah Zizah di depanku. Dia tampak tenang. Tak terlihat bahwa dia bermaksud mempermainkanku dengan kejadian perkenalan barusan.

“Kalian bahagia?” tanyaku penasaran.

Zizah hanya mengangguk pelan.

“Bagaimana ceritanya? Aku ingin penjelasan darimu, Zizah?”  aku mencoba memaksanya, meskipun itu mungkin tak berguna lagi bagiku.

“Li, sekali lagi aku mohon maaf. Banyak hal yang sulit untuk kuceritakan. Haruskah sekarang aku jelaskan? Suatu saat kamu pasti akan mengetahuinya. Cepat atau lambat,” jawabnya seperti memohon padaku untuk tidak memaksanya memberi jawaban saat itu juga.

“Baiklah, Zizah. Aku pamit sekarang. Sampaikan ucapan terima kasihku kepada Han karena telah menolongku semalam. Dan, juga kuucapkan terima kasih juga padamu,” aku berdiri dan beranjak dari kursiku.

“Kapan kamu balik ke Indonesia?” tanya Zizah.

“Rencana besok lusa, setelah beberapa pekerjaanku di sini beres,” sahutku sambil berjalan ke arah pintu.

“Perlu aku antar, Li?”

Aku membalikkan badan. Kulihat Zizah masih berdiri dari kursinya terpaku menatap kepergianku.

“Tak perlu, Zizah. Thanks,” aku pun akhirnya benar-benar pergi. Kuhentikan taxi yang kebetulan lewat. Taxi yang kutumpangi itu pun kemudian melesat meninggalkan kedai milik Han menuju Bella Vista Queenstown Motel dengan perasaan hancur berkeping-keping.


Mamuju, 6 Maret 2019


x